Bagaimana Cara Mensyukuri Nikmat Allah SWT
Segala nikmat yang diperoleh hamba dalam bentuk apapun, baik yang
bersifat materi atau non-materi, yang bersifat duniawi atau ukhrawi
(akhirat), maka wajib untuk disyukuri. Tentunya semakin banyak dan besar
suatu pemberian maka kewajiban untuk bersyukur pun semakin besar.
Bersyukur merupakan ibadah yang besar, sebagaimana firman-Nya: “Dan
syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
(An-Nahl: 114)
Mensyukuri nikmat juga sebab paling utama untuk dilanggengkannya
nikmat serta ditambahnya nikmat. Namun sebaliknya, mengkufuri
(mengingkari) nikmat apalagi menggunakannya untuk kemaksiatan (perbuatan
yang dibenci Allah) merupakan faktor utama dari dicabutnya nikmat.
Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Tentunya merupakan sikap yang sangat tercela bila seorang tidak
mau berterima kasih kepada Sang Pemberi nikmat. Terlebih lagi sampai
menggunakannya pada perkara yang mendatangkan kemurkaan Sang Pemberi.
Bila seperti ini seseorang menyikapi pemberian Allah Subhanahu wa
Ta‟ala, maka azab lebih dekat ketimbang rahmat, dan kenikmatan sudah di
ambang pintu untuk meninggalkannya. Sungguh malang nasib seorang manusia
yang diberi adzab oleh Allah Subhanahu Wata‟ala dalam bentuk
berpalingnya Allah dari kehidupannya dan membiarkannya semakin
bergelimang dalam kubangan dosa, hingga ia dibutakan untuk bisa kembali
ke jalan kebaikan. Sungguh adzab yang sangat pedih telah menantinya di
akhirat kelak.
Cara Mensyukuri Nikmat
Hendaknya kita bisa memahami dengan baik cara mensyukuri nikmat,
karena ada sebagian manusia yang sudah merasa mensyukuri nikmat dengan
mengucapkan „alhamdulillah‟ , bahkan sebagian lagi tidak tahu cara
melakukannya. Dibawah ini beberapa cara yang bisa dijadikan panduan
dalam mensyukuri nikmat :
1. Meyakini dalam hati bahwa nikmat yang diterima semata-mata pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala.
Seorang yang beriman seharusnya tidak menisbatkan (mengarahkan
sebab timbulnya) nikmat kepada kekuatan, kepintaran, keberaniannya, dan
semisalnya. Sebagai contoh Nabi Sulaiman alahi salam tatkala singgasana
Ratu Saba‟ bisa didatangkan di hadapannya dalam tempo sekejap, maka
beliau berkata: “Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah
aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya)
.” (An-Naml: 40)
Asy-Syaikh As-Sa‟di rahimahullahu berkata: “Nabi Sulaiman as
tidak teperdaya dengan (menyombongkan) kerajaan, kekuasaan, dan
kemampuannya. Ini berbeda dengan kebanyakan para raja yang bodoh. Nabi
Sulaiman q tahu bahwa ini adalah ujian dari Rabbnya, sehingga khawatir
bila tidak mampu mensyukurinya.” (Tafsir As-Sa‟di hal. 605)
Coba bandingkan dengan sikap dan ucapan Qarun yang menyombongkan
kemampuannya, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta‟ala kisahkan: “Qarun
berkata: „Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada
padaku‟.” (Al-Qashash: 78)
Ucapan dan kesombongan Qarun sudah berlalu beribu-ribu tahun,
namun sikapnya masih terus terwariskan sampai saat ini. Kerap sekali
kita dengar ucapan yang senada dengannya, seperti: “Harta ini saya
peroleh semata-mata karena hasil karya dan ketekunan (kerja keras)
saya.” Padahal Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah berfirman: ”Dan apa saja
nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila
kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan.” (An-Nahl: 53)
2. Memuji Allah Subhanahu wa Ta‟ala atas segala karunia-Nya dengan
mengucapkan puji syukur dan menceritakannya secara lahir.
Karena, selalu mengingat dan menceritakan (bukan untuk
kesombongan , red) pemberian Allah Subhanahu wa Ta‟ala akan mendorong
untuk bersyukur. Hal itu karena manusia mempunyai tabiat menyukai orang
yang berbuat baik kepadanya.
3. Menggunakan nikmat untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala
bukan untuk maksiat, serta merealisasikan beragam amal shalih sebagai
bentuk mensyukuri nikmat.
Karena nikmat hanyalah titipan yang seharusnya dijaga dan tidak
dipergunakan kecuali pada batasan-batasan yang dibolehkan agama. Apabila
kita perhatikan perjalanan hidup para kekasih Allah Subhanahu wa Ta‟ala
dari kalangan para nabi dan orang-orang shalih, niscaya kita dapati
mereka adalah teladan dalam mensyukuri nikmat.
Kedudukan dan kekuasaan yang ada pada mereka dijadikan sarana
untuk menebarkan keadilan di tengah-tengah manusia. Harta yang mereka
peroleh dibelanjakan pada pos-pos kebaikan serta untuk menyokong untuk
kemuliaan Islam dan muslimin. Ilmu yang mereka dapatkan diamalkan dan
ditebarkan tanpa mengharapkan apapun kecuali keridhaan Allah Subhanahu
wa Ta‟ala.
Lihat salah satu misal teladan terbaik bagi kita yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam, bagaimana beliau banyak
melakukan shalat malam hingga bengkak kakinya. Tatkala beliau ditanya
tentang hal itu, padahal dosa dan kesalahannya yang telah lalu dan yang
akan datang telah diampuni, maka beliau bersabda: “Tidak bolehkah aku
menjadi hamba yang bersyukur?” (HR Al-Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar